MinahasaSulutkita.com-Niat baik Pemerintah Desa Sea Satu, Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa, berubah jadi bencana bagi ratusan warga.
Program bantuan bibit ayam kampung yang seharusnya meningkatkan ekonomi warga, justru menimbulkan penderitaan.
Sejak kandang ayam bantuan Pemdes itu berdiri di Jaga III Desa Sea Satu, warga tak bisa lagi bernapas lega di rumah sendiri. Bau busuk menyengat dan serangan lalat membuat lingkungan tak layak huni.
“Ini sudah keterlaluan! Lalat sampai masuk ke piring makan. Anak-anak saya sering sakit perut karena kondisi ini,” keluh Ibu Sartika (42), warga yang rumahnya hanya belasan meter dari lokasi kandang.
Masalahnya, peternakan ayam kampung itu dibangun di tengah pemukiman padat tanpa kajian dampak lingkungan.
Padahal, sesuai Peraturan Menteri Pertanian No. 40/Permentan/OT.140/7/2011, jarak minimal antara peternakan dan pemukiman harus 500 meter. Faktanya, kandang bantuan Pemdes ini berdiri hanya puluhan meter dari rumah warga!
Lebih parah, warga menduga peternakan ini beroperasi tanpa AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Kami sudah berulang kali mengadu ke pemerintah desa. Tapi jawabannya cuma ‘sabar dulu, ini program desa’. Sabar sampai kapan? Sampai anak-anak kami semua sakit?” ujar Hendrik (38) warga Desa Satu yang kesal dengan sikap Pemdes.
Kondisi lapangan makin parah. Air limbah kandang mengalir ke saluran drainase tanpa pengolahan. Setiap hujan, air hitam pekat berbau menyengat meluap ke jalan kampung.
“Ibu-ibu di sini sudah tidak berani jemur pakaian di luar. Lalat menempel di mana-mana. Rumah kami jadi tak laku dijual,” tutur Melinda (35), warga yang berencana pindah karena tak tahan.
Ledakan populasi lalat juga memicu penyakit diare dan gangguan pernapasan. Beberapa lansia bahkan mengeluh sesak napas akibat bau amonia dari tumpukan kotoran ayam.
Yang membuat warga makin geram, pemerintah desa justru bungkam. Upaya dialog dan mediasi selalu berujung pada janji tanpa tindakan nyata.
“Bantuan untuk kesejahteraan malah jadi sumber penderitaan. Apa Pemdes tidak tahu aturan soal jarak peternakan, atau memang sengaja diabaikan?” kata seorang tokoh masyarakat yang enggan disebut namanya.
Kasus seperti ini bukan pertama kali. Di Banyumas, seorang peternak pernah divonis melanggar UU PPLH karena menjalankan usaha tanpa izin lingkungan di dekat pemukiman dan didenda ratusan juta rupiah.
Kini, warga Sea Satu mulai kehilangan kesabaran. Mereka mengancam akan menutup paksa kandang ayam jika tidak ada penyelesaian segera.
“Kami tidak mau ribut, tapi kami juga punya hak untuk hidup sehat!” tegas Hendrik.
Warga menuntut perhatian serius dari Pemerintah Desa Sea Satu, Dinas Lingkungan Hidup, dan Dinas Pertanian Kabupaten Minahasa.
Mereka meminta relokasi peternakan ke lokasi yang sesuai aturan atau penutupan total jika tak memenuhi syarat lingkungan.
“Kami bukan anti program pemerintah. Tapi kesejahteraan tak boleh dibangun dengan mengorbankan kesehatan warga,” tegas kelompok peduli lingkungan desa.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari Pemerintah Desa Sea Satu maupun Pemkab Minahasa atas keluhan warga yang sudah berlangsung berbulan-bulan.(Kiki/*)






